Sejarah
Ada beberapa sumber yang dijadikan dasar untuk mengungkap
asal-usul Salatiga, yaitu yang berasal dari cerita rakyat, prasasti maupun
penelitian dan kajian yang cukup detail. Dari beberapa sumber tersebut Prasasti
Plumpungan-lah yang dijadikan dasar asal-usul Kota Salatiga. Berdasarkan
prasasti ini Hari Jadi Kota Salatiga dibakukan, yakni tanggal 24 Juli 750 yang
ditetapkan dengan Peraturan Daerah Tingkat II Kota Salatiga Nomor 15 Tahun 1995
tentang Hari Jadi Kota Salatiga.
Prasasti Plumpungan, cikal bakal lahirnya Salatiga, tertulis
dalam batu besar berjenis andesit berukuran panjang 170cm, lebar 160cm dengan
garis lingkar 5 meter yang selanjutnya disebut Prasasti Plumpungan.
Berdasar prasasti di Dukuh Plumpungan, Desa Kauman Kidul,
Kecamatan Sidorejo, maka Salatiga sudah ada sejak tahun 750 Masehi, pada waktu
itu Salatiga merupakan perdikan.
Perdikan artinya suatu daerah dalam wilayah kerajaan
tertentu. Daerah ini dibebaskan dari segala kewajiban pajak atau upeti karena
daerah tersebut memiliki kekhususan tertentu, daerah tersebut harus digunakan
sesuai dengan kekhususan yang dimiliki. Wilayah perdikan diberikan oleh Raja
Bhanu meliputi Salatiga dan sekitarnya.
Menurut sejarahnya, di dalam Prasasti Plumpungan berisi
ketetapan hukum, yaitu suatu ketetapan status tanah perdikan atau swantantra
bagi Desa Hampra. Pada zamannya, penetapan ketentuan Prasasti Plumpungan ini
merupakan peristiwa yang sangat penting, khususnya bagi masyarakat di daerah
Hampra. Penetapan prasasti merupakan titik tolak berdirinya daerah Hampra
secara resmi sebagai daerah perdikan atau swantantra. Desa Hampra tempat
prasasti itu berada, kini masuk wilayah administrasi Kota Salatiga. Dengan
demikian daerah Hampra yang diberi status sebagai daerah perdikan yang bebas
pajak pada zaman pembuatan prasasti itu adalah daerah Salatiga sekarang ini.
Konon, para pakar telah memastikan bahwa penulisan Prasasti
Plumpungan dilakukan oleh seorang citralekha (penulis) disertai parapendeta
(resi). Raja Bhanu yang disebut-sebut dalam prasasti tersebut adalah seorang
raja besar pada zamannya yang banyak memperhatikan nasib rakyatnya.
Isi Prasasti Plumpungan ditulis dalam Bahasa Jawa Kuno dan
bahasa Sanskerta. Tulisannya ditatah dalam petak persegi empat bergaris ganda
yang menjorok ke dalam dan keluar pada setiap sudutnya.
Dengan demikian, pemberian tanah perdikan merupakan
peristiwa yang sangat istimewa dan langka, karena hanya diberikan kepada
desa-desa yang benar-benar berjasa kepada raja. Untuk mengabadikan peristiwa
itu maka raja menulis dalam Prasasti Plumpungan Srir Astu Swasti Prajabhyah,
yang artinya: "Semoga Bahagia, Selamatlah Rakyat Sekalian". Ditulis
pada hari Jumat, tanggal 24 Juli tahun 750 Masehi.
Karena dukungan faktor geografis, udara sejuk dan letak yang
sangat strategis, maka Salatiga cukup dikenal keindahannya di masa penjajahan
Belanda, bahkan sempat memperoleh julukan "Kota Salatiga yang Terindah di
Jawa Tengah".
Pada zaman penjajahan Belanda telah cukup jelas batas dan
status Kota Salatiga, berdasarkan Staatsblad 1917 No. 266 Mulai 1 Juli 1917
didirikan Stadsgemeente Salatiga yang daerahnya terdiri dari 8 desa.Salatiga
pada masa kolonial tercatat sebagai tempat ditandatanganinya perjanjian antara
Pangeran Sambernyawa atau Raden Mas Said (kelak menjadi KGPAA Mangkunegara I)
di satu pihak dan Kasunanan Surakarta dan VOC di pihak lain. Perjanjian ini
menjadi dasar hukum berdirinya Kadipaten Mangkunegaran
Kotamadya Daerah Tingkat II Salatiga adalah bekas
stadsgemeente yang dibentuk berdasarkan Staatsblad 1929 No. 393 yang kemudian
dicabut dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 1950 tentang Pembentukan
Daerah-daerah Kecil Dalam Lingkungan Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa
Barat.